Sejarah Berdirinya Kota Semarang
Sejarah berdirinya kota Semarang yang terletak di sisi pantai utara pulau Jawa ini bisa ditelusuri jauh hingga abad ke-6, dimana daerah tersebut dulunya merupakan daerah pesisir dengan nama Pragota, juga merupakan sebuah bagian dari kerajaan tua di Indonesia, yaitu kerajaan Mataram Kuno. Kini, daerah dengan total area 373.70 km3 ini memiliki populasi sebanyak 2 juta jiwa, menjadikannya kota ke-6 di Indonesia yang memiliki penduduk terbanyak, dan kota terbesar di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Dulu, kota Semarang merupakan sebuah kota dermaga yang besar dan maju ketika masa kolonial Belanda, dan hingga sekarang tetap menjadi daerah pusat untuk hal-hal yang berbau maritim.Sejarah Semarang di Masa Kuno Kerajaan Indonesia
Awal Sejarah berdirinya kota Semarang dimulai pada masa dimana daerah ini masih menjadi sebuah bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Pada masa itu, daerah Semarang yang masih bernama Pragota merupakan daerah khusus pelabuhan, dimana di bagian depan dari daerah ini adalah gugusan pulau-pulau kecil yang karena terjadi pengendapan mulai menyatu dan membentuk daratan. Bagian tersebut kemudian menjadi daerah yang lebih dikenal sebagai Semarang Bawah. Pelabuhan yang dulu sempat besar ini diperkirakan ada di tempat Pasar Bulu sekarang, dan terus terbentang hingga daerah Pelabuhan Simongan dimana pada tahun 1435 pernah menjadi tempat Cheng Ho menyandarkan kapal dan armadanya. Di tempat itu juga Cheng Ho mendirikan sebuah masjid dan kelenteng yang masih aktif dikunjungi masyarakat dan diberi nama Kelenteng Sam Po Kong yang berarti Gedung Batu.
Pangeran Made Pandan (Sunan Pandanaran I) tiba-tiba ditempatkan sebagai penyebar agama Islam oleh Kerajaan Demak pada akhir-akhir abad ke-15. Ketika masa Made Panda tiba, daerah Pragota tempat ia berdakwah menjadi semakin subur seiring dengan berjalannya waktu. Pada masa kesuburan inilah muncul sebuah pohon asam yang warnanya seperti arang, yang oleh masyarakat Jawa disebut Asem Arang, dan hal ini yang menjadikan Pragota berubah nama menjadi Semarang meskipun awalnya hanya menjadi gelar atau nama panggilan bagi daerah tersebut. Pendiri desa pertama daerah tersebut, Made Pandan diberi gelar Kyai Ageng Pandan Arang I dan dibuat sebagai kepala daerah. Ketika ia wafat, kepemimpinan berpindah tangan kepada putranya, dan diberi gelar Pandan Arang II dan nantinya mendapatkan gelar-gelar lain seperti Sunan Bayat, Ki Ageng Pandanaran, Sunan Pandanaran II, atau bahkan hanya Sunan Pandanaran.
Perkembangan Semarang pada masa pemerintahan Pandan Arang II mulai menunjukkan perubahan yang sangat drastis, dan perubahan ini menarik perhatian salah satu petinggi Pajang, yaitu Sultan Hadiwijaya. Mengingat daerah Semarang tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk peningkatan daerah. Semarang kemudian diputuskan berubah menjadi Kabupaten pada tanggal 2 Mei tahun 1547 yang kebetulan pada waktu itu bertepatan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad. Pengesahan daerah ini menjadi Kabupaten dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya setelah sebelumnya melewati konsultasi panjang kepada Sunan Kalijaga, dimana kemudian tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari berdirinya kota Semarang.
Pada tahun 1678, Amangkurat II yang berasal dari Mataram berjanji untuk memberikan Semarang kepada pihak VOC. Perjanjian ini dibuat oleh Amangkurat untuk membayar hutang-hutangnya. Hingga ditahun 1705, akhirnya Semarang benar-benar diserahkan kepada pihak VOC sebagai imbalan setelah mereka membantu Pakubuwono I merebut Kartasutra. Mulai masa itu Semarang menjadi kota milik VOC yang kemudian berpindah tangan kepada pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun 1906 melalui Stanblat no. 120 dibentuklah pemerintahan kota besar dengan Burgemeester sebagai pemimpinnya, ia masih terus mengikuti Belanda sebelum kepemimpinannya berakhir pada tahun 1942 dikarenakan Jepang tiba di Indonesia.
Kebijakan yang telah diterapkan oleh Kota Semarang akhirnya berganti setelah kependudukan Jepang di Indonesia dimulai, sebab oleh Jepang pimpinan daerah diubah menjadi dibawah pimpinan pihak militer Jepang (Shico) yang didampingi dua wakil (Fuku Shico) dimana salah satunya adalah orang Jepang dan yang lainnya adalah orang Indonesia. Beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan terjadi, tepatnya pada tanggal 15 hingga 20 Oktober tahun 1945, beberapa tentara Jepang yang ada di Semarang bersikeras tidak mau memberikan kontrol akan kota tersebut kepada pasukan kemerdekaan. Akhirnya perang yang memperoleh sebutan Pertempuran Lima Hari ini memakan beberapa korban, dimana salah satu yang tewas adalah seorang dokter muda berbakat yang bernama dr. Kariadi. Tokoh-tokoh kunci pada perang ini adalah:
- dr. Kariadi
Dokter muda yang berniat untuk mengecek cadangan air ketika berhembus kabar bahwa Jepang berencana untuk meracuni air cadangannya. Ia tetap berniat untuk pergi padahal istrinya telah memohon untuk tetap tinggal di rumah. - Mr. Wongsonegoro
Pada masa itu, Mr. Wongsonegoro merupakan Gubernur yang dipilih untuk daerah Jawa Tengah. Beliau sempat ditangkap oleh pasukan Jepang. - Dr. Sukaryo & Sudanco Mirza Sidharta
Mereka berdua merupakan korban lain penangkapan pasukan Jepang, bersamaan dengan Mr. Wongsonegoro. - Mayor Kido
Pemimpin Kidobutai pada masa itu, dimana pusat Kidobutai terletak di Jatingaleh. - Kasman Singodimejo
Perwakilan yang diutus untuk menjembatani gencatan senjata. - Jenderal Nakamura
Jenderal tawanan TKR di Magelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar