• News

    Rabu, 14 September 2016

    SEJARAH UANG INDONESIA

    Sejarah Uang Indonesia Pada Masa Penjajahan

    Uang yang kita kenal dan kita gunakan sekarang ini, telah melalui proses perkembangan yang panjang, Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Namun terlepas dari itu, tahukah anda perkembangan mata uang ini sebelum mencapai bentuk yang sekarang ini? Nah, jika anda penasaran, maka pada topik kali ini kami akan mengulas sejarah mata uang Indonesia pada masa penjajahan. Yuk, simak ulasannya di bawah ini.
    1. Mata Uang Gulden
    “Gulden pada sejarah uang Indonesia sempat ditarik dari peredaran karena berukirkan Ratu Wilhelmina dengan rambut yang terurai”.
    Perekonomian Indonesia di masa penjajahan Belanda tidak terlepas dari peran pemerintahan kolonialVereenigde Oostindische Compagnie (VOC)VOC menyebarluaskan penggunaan mata uang Gulden Hindia-Belanda dalam kegiatan perekonomian di nusantara. Selain gulden, mata uang lain yang digunakan—khususnya di wilayah Sumatra dan Jawa adalah dolar. Sumatra dan rupiah Jawa (keduanya hanya bertahan sampai tahun 1824 Masehi). Keduanya punah karena pemerintah kolonial menegaskan penggunaan gulden.
    Gulden pada sejarah uang Indonesia sempat ditarik dari peredaran karena berukirkan Ratu Wilhelmina dengan rambut yang terurai. Penarikan dari peredaran ini dilakukan karena dianggap sebagai penggambaran tidak sopan kepada seorang bangsawan. Gulden berjaya di Indonesia untuk waktu yang relatif lama. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Jepang pun mata uang Belanda ini masih digunakan.
    Hanya saja, pada gulden di masa penjajahan Jepang tertera tulisan “De Japansche Regering”(“pemerintah Jepang”). Selain itu, pemerintah kolonial Jepang juga mengedarkan mata uangnya sendiri, yaitu Dai Nippon Teikoku Seihu. Selain gulden dan mata uang Jepang, mata uang lain yang pernah beredar dalam masa sejarah Indonesia adalah mata uang rupiah Hindia-Belanda. Mata uang ini diperkenalkan di tahun 1944 tetapi hanya bertahan satu tahun karena terimbas peperangan (Perang Dunia II).
    2. Sejarah Uang Indonesia Pasca-Kemerdekaan
    Dalam sejarah Indonesia, mata uang yang secara resmi beredar pada awal masa kemerdekaan adalah mata uang Jepang, gulden Hindia-Belanda, dan mata uang De Javasche Bank. Inflasi mata uang sempat terjadi pada mata uang Jepang, terkait kekalahannya dalam Perang Dunia II.
    Rakyat kecil Indonesia adalah pihak yang paling dirugikan atas inflasi tersebut, karena rakyat kecil Indonesia saat itu paling banyak menggunakan mata uang Jepang dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Kerugian rakyat kecil dalam sejarah uang Indonesia diperparah dengan diturunkannya kebijakan Panglima AFNEI yang menduduki Indonesia tahun 1946.
    Kebijakan tersebut berisi pemberlakuan mata uang NICA sebagai alat transaksi resmi di Indonesia. Kebijakan ini menuai protes dari pihak pemerintah Indonesia karena mata uang NICA dianggap merugikan rakyat pribumi dan mengacaukan stabilitas perekonomian Indonesia yang baru saja merdeka. Sikap protes pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan dikeluarkannya kebijakan pelarangan menggunakan mata uang NICA dalam bertransaksi. Langkah besar sejarah uang Indonesia yang pertama dalam mengatasi dilema penggunaan mata uang dengan pasukan AFNEI adalah diterbitkannyaORI (Oeang Republik Indonesia).

    Uang di Indonesia :
    Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran hutang.Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
    Gambar uang di Indonesia:
    Rupiah adalah mata uang resmi Indonesia. Mata uang ini dicetak dan diatur penggunaannya oleh Bank Indonesia dengan kode ISO 4217 IDR. Secara tidak formal, orang Indonesia juga menyebut mata uang ini dengan nama “perak”. Satu rupiah dibagi menjadi 100 sen, walaupun inflasi telah membuatnya tidak digunakan lagi kecuali hanya pada pencatatan di pembukuan bank.
    Pada awalnya seorang pemilik koin emas yang ingin mengamankannya dari bahaya akan menitipkannya pada seorang pandai emas atau seseorang yang memiliki peti yang kuat dan loket untuk penebusannya. Ia akan meninggalkannya tentu saja dengan syarat ia dapat menariknya kembali, semuanya atau sebagiannya setiap saat ia perlukan.
    Misalnya ada 11 orang menitipkan misalnya 100 keping emas pada seorang pemilik peti penyimpanan; maka orang ini akan menjadi bankir mereka. Mereka akan datang kepadanya dari waktu ke waktu, masing-masing menarik sebagian uang mereka yang akan dipakai atau menyerahkan sejumlah uang lain untuk disimpan.
    Dengan segera diketahui pada prakteknya jumlah uang yang ditarik dalam jangka waktu tertentu, katakanlah sebulan telah digantikan oleh depositor dengan kecepatan rata-rata tertentu: yakni meski ada jumlah tertentu ada sejumlah terkait yang didepositkan. Tetapi di antara arus masuk dan arus keluar, selalu ada sejumlah besar cadangan di tangan. Selalu ada sejumlah besar cadangan emas dan perak di tangan orang yang dipercayai menyimpannya.
    Dalam praktek diketahui bahwa secara permanen sisa uang yang tak terpakai ini ada sejumlah sepuluh kali dari jumlah yang perlu disiapkan untuk memenuhi permintaan penarikan.
    Di tangan si bankir yang mendapatkan kepercayaan sebelas nasabah yang menitipkan uang, ada sebanyak 1100 Poundsterling dengan 1000 Pounds dari yang 1100 ini sepenuhnya menganggur dalam waktu tertentu. Cukup bagi si bankir untuk hanya menyimpan yang 100 Pound itu sebagai cadangan untuk memenuhi permintaan penarikan sebab ia bisa mengandalkan arus masuk deposit baru sebebasnya untuk memenuhi seberapapun arus penarikan terjadi.
    Si Jones boleh jadi menarik 10 Pound dari 100 Pound tabungannya untuk keperluan tahun baru, tapi pada Candlemas sebulan kemudian, ia akan membayarkan 10 Pound yang ia ambil itu untuk kembali ditabung. Dengan demikian cuma 1/10 dari jumlah total, yang harus disimpan oleh si bankir untuk memenuhi kewajibannya. Sisanya – sekurangnya ia gelapkan, ini penggelapan karena seseorang menggunakan milik orang lain yang dipercayakan kepadanya demi tujuan pribadi.
    Tapi karena terbiasa, penggelapan ini lama-kelamaan dianggap wajar. Maka pada akhirnya si bankir merasa aman bila ia hanya mencadangkan 1/10 dari uang yang, berdasarkan hukum dan moral, ia wajib membayarkannya saat diminta. Sisanya yang 9/10 ia dapat gunakan untuk apa saja yang ia mau, khususnya diutangkan dengan riba.
    Tapi itu baru awal dari cerita. Sebab sebagaimana kita ketahui, para bankir akan menerbitkan ‘tanda terima’, kuitansi, atau istilah resminya ‘janji pembayaran’ (promissory note), sebagai bukti penitipan koin emas itu. Oleh nasabahnya, kuitansi itu diterima seolah sebagai benar-benar pembayaran. Kertas ini, hari ini kita sebut sebagai cek.
    Kemudian beredar dari satu tangan ke tangan yang lain untuk sewaktu-waktu di-cash kan (ditukar dengan koin emas di bank). Secarik kertas inipun di bawah hukum alat tukar (law of legal tender) akhirnya menjadi uang itu sendiri. Dengan instrumen ini para bankir mendapatkan keuntungan secara luar biasa karena, dengan mengeluarkan kerta-kertas ‘janji pembayaran’ ini, telah menciptakan uang dari kehampaan.
    Anda dan saya dengan 1100 Poundsterling dapat mengupah 11 orang untuk membangunkan sebuah rumah untuk kita dalam waktu 6 bulan. Tapi seorang bankir dengan 1100 Pound dapat sekaligus membangun 10 rumah. Anda dan saya dapat meminjamkan uang kita yang 1100 Pound itu dengan 5% bungan dan mendapatkan 50 Pound dalam setahun; tapi seorang bankir, dengan dasar yang sama, dapat memperoleh sebanyak 550 Pound dalam setahun.
    Ini juga belum akhir dari cerita, karena dengan berlakunya janji pembayaran tersebut sebagai uang itu sendiri, para bankir dapat melipat gandakan uangnya lagi, dengan cara menciptakan utang kepada para nasabah. Dengan teknik cadangan sebagaian ini, seorang bankir kemudian dapat memperbanyak ‘uang’ -nya sampai jumlah hampir tak terbatas, dengan jalan mengutangkan (tepatnya: membukukan utang) dengan bunga tersebut. Dalam istilah perbankan praktek ini disebut sebagai ‘ekspansi kredit’. Syarat cadangan sebagian atau fractional reserve requirement lazimnya pada mulanya adalah antara 8-10%. Dengan teknologi yang lebih baru, kartu kredit, sebuah bank bahkan praktis dapat membukukan utang – dengan demikian menciptakan uang – tanpa cadangan sama sekali.
    Di Indonesia, pasca liberalisasi sektor perbankan pada 1988, persyaratan cadangan ini bahkan menjadi sangat kecil, diturunkan dari 15% menjadi 2%. Ini bibit yang menjadi awal malapetaka bangsa ini yang satu dekade kemudian ketika sektor perbankan in Indonesia rontok. Kita akan dengan luas kembali membahas nasib bangsa Indonesia yang kini terjebak dalam permainan para rentenir global ini di bawah nanti.
    Kemampuan menciptakan kredit inilah yang memberikan oligarki keuangan kekuatan politik yang sebenarnya. Sejumlah bukti-bukti lain akan diberikan di bawah nanti, baik di masa awal konsolidasi kapitalisme (abad ke-19) maupun di zaman mutakhir kini. Bank-bank kini menciptakan kredit dalam bentuk utang nasional, pada dasarnya, untuk tujuan apa saja – mulai dari perang, proyek ‘pembangunan’, bahkan ‘reformasi politik’. Tujuan utang bagi para rentenir adalah demi memperbanyak utang itu sendiri, karena dengan begitu mereka menciptakan kekayaan dengan cepat dan mudah. Tapi bagi sebuah bangsa, utang nasional apalagi yang merupakan ‘kredit politik’ seperti yang dikenal sebagai Structural Adjusment Loan dari IMF, dapat berarti ‘utang untuk menggali kuburnya sendiri’. Contoh kasusnya utang kepada Daulah Utsmani dan, semakin dapat dibuktikan kebenarannya, yang diberikan kepada bangsa kita sendiri sebagaimana kita alami hari-hari ini. Kita akan melihat fakta-faktanya di bawah nanti.
    Semuanya sudah makin jelas kini. Tapi masih ada juga kesalahpahaman lain tentang uang kertas dan implikasinya. Sebagian beranggapan bahwa uang kertas lebih memajaki (membebani) kaum yang kaya yang punya lebih banyak uang daripada kaum miskin yang lebih sedikit memegangnya. Ini kekeliruan fatal, karena yang sebaliknyalah yang terjadi. Inflasi adalah pajak yang jauh lebih dibebankan kepada orang miskin. Sebab, meskipun inflasi menurunkan nilai semua mata uang dalam suatu waktu tanpa melihat siapa yang memilikinya, inflasi lebih menguntungkan orang-orang yang tengah berutang. Sebab, mereka yang berutang, akan melunasinya dengan nilai uang yang secara riel lebih kecil dari nilai asal yang menjadi kewajibannya semula. Karena yang mendapatkan kredit ini kebanyakan adalah orang kaya, merekalah yang lebih diuntungkan oleh sistem ini, dengan dua alasan:
    • Inflasi menurunkan nilai riel uang yang harus dibayarkan oleh debitur kaya tersebut.
    • Sistem uang kertas memberikan keistimewaan eksklusif yang luar biasa kepada orang kaya berupa akses untuk mendapatkan modal dari perbankan.
    Secara keseluruhan sistem uang kertas adalah suatu bentuk ketidakadilan berupa pajak yang paling berat bagi warga negara, terlepas dari kelas sosial dan kondisi lainnya, demi keuntungan segelintir pribadi-pribadi. Semakin banyak uang yang diciptakan dalam bentuk kredit yang dikeluarkan oleh bank, semakin tinggi pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat. Tingkatnya melebihi inflasi, karena harus kita tambahkan di sini dengan tidak meratanya peredaran uang, karena berlakunya formula ‘uang-datang-kepada-uang’. Seseorang yang akan meminta kredit kepada bank, katakanlah Rp. 1 Milyar, harus menyediakan ekuitas senilai yang sama, Rp 1 Milyar. Mungkinkah Rp 1 Milyar ini disediakan oleh seorang nelayan di Muara Angke? Kredit perbankan hanya akan datang kepada kaum kaya, yang akibatnya akan makin mempertajam jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
    Itulah, boleh jadi, sisi terburuk dari sistem uang kertas: perpajakan terselubung, yang tidak terlihat karena tidak mudah, dan tidak pernah, dihitung seperti halnya inflasi. Secara keseluruhan itulah kapitalisme, yang ditopang oleh dua sumber daya hidupnya, riba sebagai jantung kiri dan pajak sebagai jantung kanannya. Dalam skala global kapitalisme, sebagaimana akan segera kita perlihatkan di bawah ini, telah menggantikan kekuatan militer sebagai alat untuk mengendalikan (baca: menjajah) warga masyarakat.
    Selain alat dan cara penjajahannya ada perbedaan penting lain pada kolonialisme baru dibanding yang lama yang patut diketahui, meski pelaku dan korbannya sama. Ketika kolonialisme berlangsung secara fisik-militer, para pelakunya memperalat suatu pemerintahan (nasional) untuk menduduki secara fisik – di bawah ancaman militer – suatu pemerintahan (nasional) lainnya. Di balik layar adalah para rentenir dan pedagang yang mengeruk kekayaan dari bangsa yang dimangsanya.
    Kini, dalam kolonialisme baru, para pelakunya tidak lagi memperalat suatu pemerintahannya secara langsung, tapi melalui jaringan finansial multilateral (IMF dan Bank Dunia), yang memaksa pemerintahan nasional korban untuk melegalkan operasi-operasi mereka. Sejumlah lembaga multilateral lain, seperti ISO (International Standard Organization), WIPO ( World Intellectual Property Organization) dan sejenisnya, dengan yang terutama adalah WTO (World Trade Organization), memainkan peran yang sama di sektor jasa dan perdagangan. Di belakang mereka kemudian berbondong-bondong perusahaan-perusahaan Multinasional (Multinational Corporation atau MNC) untuk mereguk kekayaan dari tempat mereka beroperasi.
    Kita akan membahas hal ini dengan lebih luas berikut ini. Marilah kita kembali ke fakta-fakta sejarah, dengan mulai mengacu pada peristiwa abad ke-19, yang merupakan masa-masa konsolidasi kekuatan kapitalisme dunia. Kita akan melihat peristiwa di negeri Muslim, yakni Mesir, dan implikasinya kemudian bagi Daulah Utsmani. Terakhir kita longok keadaan negeri kita sendiri, Indonesia.



    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Fashion

    Beauty

    Travel