Sejarah Kerajaan Samudera Pasai
Sejarah kerajaan Samudera Pasai diperkirakan mulai berdiri pada tahun 1267. Kerajaan ini merupakan sebuah kerajaan Islam dengan pusat operasi di patai utara Sumatera, tepatnya di sekitar Lhokseumawe, Aceh Utara. Sumber sejarah yang biasa digunakan oleh para sejarawan untuk meneliti kerajaan ini adalah Hikayat Raja-raja Pasai, sebuah buku dalam bahasa Melayu dimana buku ini bercerita tentang salah satu kerajaan Islam yang pertama muncul di Indonesia, yaitu Samudera Pasai. Hal ini dikarenakan hingga kini sangat sedikit bukti-bukti arkeologis yang bisa menjadi dasar awal penelusuran kerajaan Islam ini. Selain Hikayat Raja-raja Pasai, mereka juga mengaitkan cerita dalam buku itu dengan makam-makam milik raja, serta dengan penemuan koin-koin dari emas dan perak yang terbubuhi nama raja yang saat itu sedang memerintah
Sejarah Kerajaan Samudera PasaiYang menjadi penoreh pertama tinta sejarah kerajaan Samudera Pasai ini adalah Marah Silu yang memiliki gelar Sultan Malik as-Saleh pada tahun 1267-an. Marah Silu sebelumnya adalah raja Pasai yang menggantikan Sultan Malik al-Nasser. Pada waktu itu, Marah Silu berada di kawasan dengan nama Semerlanga. Marah Silu wafat pada tahun 696 Hijriah atau sekitar tahun 197 Masehi. Dalam buku Hikayat Raja-raja Pasai dan juga Sulalatus Salatin, nama Pasai dan Samudera dipisahkan, karena mereka berdua merupakan dua daerah yang sama sekali berbeda. Meski begitu, catatan Tiongkok tidak membedakan kedua nama ini. Marco Polo juga mencatat daftar kerajaan di Sumatera, dimana dari sepanjang pulau bisa ditemukan nama Ferlec atau Perlak, Basma, dan Samara atau Samudera.
Selepas Sultan Malik as-Saleh, pemerintahan di kerajaan Pasai dipegang oleh putranya, Sultan Muhammad Malik az-Sahir yang merupakan buah perkawinan antara dia dengan putri dari Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik, mata uang Pasai menjadi koin emas dan perak, sejalan dengan Pasai yang semakin berkembang menjadi kawasan perdagangan yang besar, dan juga tempat pengembangan dakwah agama Islam. Pada tahun 1326, Sultan Muhammad Malik meninggal dunia dan kerajaan Pasai dipegang oleh anaknya yang bernama Sultan Mahmud Malik az-Zahir yang memerintah selama 19 tahun hingga 1345. Dipercaya bahwa pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Malik, Ibnu Batuthah datang mengunjungi dan bercerita bahwa salah satu kesultanan di Samudera menyambutnya dengan ramah, dimana penduduk dari kesultanan Samudera itu menganut mazhab Syafi’i. Ketika Sultan Mahmud Malik turun dan digantikan oleh putranya sendiri, Sultan Ahmad Malik az-Zahir. Pada masa Sultan Ahmad Malik inilah, terjadi serangan dari Majapahit di sekitar tahun 1343 hingga 1350, dimana serangan ini memaksa Sultan dari kerajaan Pasai kabur dan melarikan diri dari ibukota kerajaan menuju aman.
Kembali tertulisnya sejarah kerajaan Samudera Pasai adalah pada tahun 1383, dimana pada waktu itu Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahr mengambil alih kursi pimpinan hingga tahun 1405. Nama Sultan Zain al-Abidin sendiri bisa dijumpai dalam salah satu kronik cina, namun dengan nama yang berbeda yaitu Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Sultan Zain al-Abidin dipercaya mengakhiri masa pemerintahannya karena terbunuh oleh Raja Nakur. Pemerintahan kerajaan Pasai kemudian berlanjut di tangan istrinya sendiri, yaitu Sultanah Nahrasiyah.
Pada tahun 1405, untuk pertama kalinya armada Cheng Ho dengan jumlah kapal total sekitar 208 kapal, datang untuk mengunjungi Pasai, dimana kunjungan ini terjadi lagi pada tahun 1408 dan 14012. Hal ini diambil dari laporan milik Ma Huan dan Fei Xin, pembantu Cheng Ho yang menceritakan tentang perjalanan Cheng Ho mengitari dunia. Dari kunjungan ini, Cheng Ho memberikan hadiah dari kaisar Tiongkok di masa itu, yaitu sebuah lonceng Cakra Donya. Jika kita membicarakan daerah geografis, Kerajaan Pasai memiliki batas wilayah dimana bagian timur dan selatannya merupakan pegunungan tinggi. Bagian timur kerajaan ini berbatasan dengan kerajaan lain, yaitu kerajaan Aru sebuah kerajaan Islam lainnya. Di sisi timur kerajaan ini, terdapat laut, dimana bagian baratnya berbatasan dengan dua buah kerajaan, yaitu Nakur dan Lide. Pada tahun 1434, kesultanan Pasai mencoba mengirim salah satu saudaranya yang memiliki nama Ha-li-zhi-han yang wafat di Beijing. Mendengar kabar ini, Kaisar Xuande yang berasal dari dinasti Ming kemudian mengutus Wang Jinhong untuk memberi tahu kabar ini pada kesultanan Pasai.
Sejarah kerajaan Samudera Pasai tidak bisa dimulai tanpa adanya pusat pemerintahan kerajaan, dan dalam kasus Samudera Pasai ini, tempat yang menjadi pusat pemerintahan mereka terletak di antara Sungai Jambu Air dan Sungai Pasai di Aceh Utara. Ibnu Batuthah yang pernah menghabiskan waktu sekitar dua minggu di kesultanan ini berkata bahwa memang kerajaan ini tidak punya sama sekali pertahanan yang terbuat dari batu, tapi kotanya memang sudah mereka pagari dari kayu yang batasnya memiliki jarak beberapa kilometer dari pelabuhan kota ini. Di kawasan inti dari kota mereka, terdapat sebuah mesjid dan pasar, dimana mereka juga dilalui oleh sungai tawar yang terus mengalir menuju lait. Nama Lhokseumawe yang berarti “teluk yang terus berputar” mungkin juga didasari dari sungai yang terlihat tenang tetapi memiliki ombak besar.
Sejarah kerajaan Samudera Pasai menemui akhirnya, bermula ketika pada suatu masa terjadi perang saudara yang bermula dari pertikaian kecil. Sulalatus Salatin menuliskan, bahwa pada masa itu Sultan Pasai memohon bantuan kepada sultan Melaka agar mereka mau membantu untuk meredam pemberontakan tadi. Meskipun pada akhirnya berhasil meredak pemberontakan, kesultanan Pasai tetap runtuh pada tahun 1521 oleh Portugal, dimana sebelumnya mereka sudah berhasil menundukkan Melaka di tahun 1511.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar